Moderasi Beragama Sebagai Strategi Merawat Keberagaman Indonesia - STAB Nalanda

Berita dan Acara

Pendaftaran S1 & S2 Pendidikan Keagamaan Buddha, S1 Dharma Usada, S1 Pendidikan Buddha Anak Usia Dini, S1 Ilmu Komunikasi Buddha, S1 Bisnis dan Manajemen Buddha telah dibuka

Moderasi Beragama sebagai Strategi Merawat Keberagaman Indonesia

Dr.Sutrisno, M.Si saat memberikan materi Implementasi Moderasi Beragama Untuk Memperkuat Konsesus Nasional di Era Digital di Jakarta pada Jumat (02/02/2024).

Jakarta – Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Dr.Sutrisno, M.Si didaulat sebagai narasumber pada kegiatan Kementerian Agama melalui Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta, kegiatan dengan tajuk “Penguatan Moderasi Lembaga Keagamaan Buddha” yang berlangsung di Sentral Cawang Hotel, Jakarta pada Jumat (02/02/2024) lalu. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan berbagai Tokoh Organisasi.

Dalam paparannya Dr. Sutrisno dengan judul “Implementasi Moderasi Beragama Untuk Memperkuat Konsesus Nasional di Era Digital”. Moderasi beragama adalah landasan jalan tengah dalam meresapi spiritualitas. Sebuah perjalanan yang mengajarkan kita untuk tidak terjerumus ke dalam ekstremisme atau berlebih – lebihan dalam menjalankan tuntunan agama. Dalam dunia moderasi, seseorang yang mempraktekkannya diakui sebagai individu yang moderat, menciptakan keselarasan antara ketaatan yang tulus dan penerimaan terhadap keberagaman. Dengan kata lain, moderasi adalah kunci untuk menjadi pelaku agama yang seimbang dan terbuka terhadap keberagaman yang memperkaya kehidupan.

“Moderasi adalah jalan tengah. Moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi. Dengan moderasi seseorang tidak akan ekstrem dan tidak berlebih – lebihan saat menjalani ajaran agamanya. orang yang mempraktekannya disebut moderat,” ujar Dr.Sutrisno.

Lebih lanjut, Sutrisno menyampaikan Orang moderat berdiri di tengah, menjauhi ekstremisme baik dalam kelebihan beragama maupun pengabaian terhadap nilai-nilai agama. Mereka tidak terpaku pada teks – teks keagamaan tanpa memperhatikan akal/nalar, juga tidak berlebihan mengutamakan akal sehingga mengabaikan ajaran agama. Moderasi beragama adalah titik temu antara ketaatan dan pemikiran rasional, menciptakan harmoni dalam perjalanan spiritual yang seimbang.

“Orang moderat harus berada di tengah, berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks – teks keagamaan tanpa menghiraukan akal/nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks,” jelasnya.

Menurut Dr. Sutrisno Kemanusiaan merupakan inti esensi agama, diterima sebagai fitrah yang tak dapat diabaikan. Agama, diyakini Tuhan diturunkan untuk melindungi kemanusiaan, mengajarkan untuk menghormati dan menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai pokok utama. Orang moderat memperlakukan sesama manusia, terlepas dari perbedaan agama, sebagai saudara seiman. Mereka mengutamakan kepentingan kemanusiaan di atas subjektifitas keagamaan, bahkan dalam situasi di mana kepentingan kemanusiaan mendahului keberpihakan keagamaan.

“Kemanusiaan adalah salah satu esensi  agama. Kemanusiaan diyakini sebagai fitrah agama yang tidak mungkin diabaikan. Agama mengajarkan bahwa menjunjung tinggi kemanusiaan adalah inti pokok agama. Tuhan diyakini menurunkan agama dari langit ke bumi ini justru untuk melindungi kemanusiaan. Pendek kata, inti pokok ajaran agama adalah untuk menjaga kemanusiaan, bukan untuk menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara sesama manusia dan akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara seiman. Orang moderat akan sangat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan di samping kepentingan keagamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan, dalam situasi tertentu, kepentingan kemanusiaan mendahului  subjektifitas keagamaannya,” Tuturnya.

Beliau juga menambahkan, seorang yang moderat bukan hanya berilmu, tetapi juga mampu mengendalikan emosi, berakhlak baik, pemaaf, menjadi teladan, dan berempati. Dalam menyikapi masalah keagamaan, ia mendahulukan rasa daripada emosi, mengedepankan akal ketimbang otot. Moderasi beragama harus disertai dengan sikap berbudi, membutuhkan kombinasi berilmu, berbudi, pemaaf, bijaksana, dan berhati-hati. Ini menjadi landasan untuk menciptakan moderasi beragama yang seimbang dan menciptakan harmoni dalam masyarakat.

“Selain berilmu, seorang yang moderat juga harus mampu mengendalikan emosi, berakhlak baik, pemaaf, menjadi teladan, dan sanggup berempati. Dalam menyikapi masalah keagamaan, ia harus mampu mendahulukan rasa daripada emosi, dan harus mengedepankan akal ketimbang otot. Moderasi beragama harus dibarengi dengan sikap berbudi. Moderasi beragama dapat diwujudkan jika seseorang telah memenuhi syarat berilmu, berbudi, pemaaf, bijaksana dan berhati-hati,” tambahnya.

Sebelum mengakhiri paparannya, Dr. Sutrisno memberikan pesan, Moderasi beragama menjadi esensial dalam strategi merawat keberagaman Indonesia. Dalam sejarah, Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk untuk mengakomodasi keberagaman agama, etnis, bahasa, dan budaya. Meskipun bukan negara agama, nilai-nilai keagamaan tetap dihargai dan dipadukan dengan kearifan lokal. Moderasi beragama, selain mencerminkan toleransi dan dialog, juga mendukung empat konsensus dasar negara: UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan Pancasila. Dengan memasukkan moderasi beragama dalam strategi kebudayaan, Indonesia merawat identitasnya sebagai negara yang agamis, harmonis, dan bersatu dalam keberagaman.

“Moderasi beragama adalah bagian dari strategi bangsa ini dalam merawat Indonesia. Sebagai bangsa yang sangat beragam, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum agama juga dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin dengan rukun dan damai. Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Moderasi beragama harus menjadi bagian dari strategi kebudayaan untuk merawat jati diri kita tersebut,” Tutup Dr. Sutrisno.

Berita Lainnya

Ayo Bergabung Sekarang!